Sabtu, 03 Desember 2011

Kubuka Mataku Kembali

 Kecelakaan tabrak motor membuatku harus terbaring di rumah sakit. Akibat kecelakaan tersebut, aku sempat tak sadarkan diri.Dokter merawatku yang sedang koma dalam ruang UGD .Disamping itu, seluruh jiwa dan ragaku serasa berada di alam baka yang sepi tanpa berpenghuni. Aku susuri alam khayal iu dengan maksud ingin mencari orang-orang lain. Kupanggil dengan suara sekencang-kencangnya. Tetapi tak sedikitpun sahutan yang terdengar di telingaku. Hanya gema suaraku yang terpantul, serasa di terowongan yang gelap.
            Nafasku terhela, karena usaha yang kulakukan tak membuahkan hasil. Perasaan yang tak menentu selalu enghantui pikiranku. Tapi mau bagaimana lagi. Ditempat yang gelap,sunyi dan tanpa berpenghuni itu, tak ada seorangpun yang dapat meredakan perasaan gelisah yang kurasakan. Aku hanya dapat menangis dan tertunduk disana. Tempat sunyi,senyap dan gelap itu,aku bertanya-tanya kepada hati kecilku apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku? Dan mengapa tak ada seorangpun yang dating menghampiriku?. Lalu kututup mataku sejenak dalam kegelapan sambil menangis dan terus bertanya-tanya kepada hati kecilku.
            Selang beberapa saat, aku membuka mataku. Seketika rintihanku terhenti. Kulihat sesosok perempuan berpakaian serba putih membelakangiku. Aku merasa heran akan keberadaan perempuan itu. Kulontarkan  sebuah pertanyaan kepada perempuan itu.
            “ka…kamu siapa?” tanyaku gugup. Tetapi erempuan itu tak melonarkan sepatah katapun kepadaku. Kemudian kucoba untuk menyapanya kembali.tetapi perempuan itu mash diam mmbisu tanpa sepatah katapun.
            Merasa muak dengan sikapnya yang tidak memperdulikan perkataan dan pertanyaanku, akupun lansung berdiri dari dudukku. Kemudian aku menampakkan wajak sinis kepadanya. Tetapi seketika wajah sinisku berubah menjadi bingung. Kulihat wajahnya penuh dengan air mata. Kupikir  dia sedih, tetapiaku tidak tahu mengapa dia sedih. Aku lontarkan sebuah pertanyaan lagi kepadanya
            “mengapa kamu menangis?”. Perempuan tersebut hanya menggelengkan kepala. Aku lontarkan kembali sebuah peranyaan yang mungkin menurutku dapat memancing perempuan itu agar dapat mengeluarkan sepatah kata yang akan membuatku mengerti mengapa ia sampai menangis.
            “ada apa ini? Mengapa kamu sampai menangis seperti ini?”. Perempuan itu masih saja menangis dan hanya bias menggelengkan kepala. Melihat tingkah lakunya seperti itu, membuat emosiku naik hingga terlontar kata-kata kasar yang membuat oang semakain sedih apabila endengarnya.
            “kakak,teteh. Atau aku harus panggil apa, agar dapat membuatmu bicara kepadaku!”. aku membelakangi tubuhnya yang masih saja menangis. “ aku sudah muak disini! Tak ada seorangpun yang dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Bahkan  membuatku tambah bingung saja!”. Wajahku tersenyum kecut dengan kerutan di kening. Kubalikan kembali badanku ke hadapan perempuan itu, kulihat air mata yang membasahi pipi perempuan itu semakin deras. Aku lalu kembali menujukkan wajah prihatin kepada perempuan itu dan merasa bersalah akan kata-kata kasar yang keluar dari muluku. Karena rasa bersalahku itu, dengan segera aku meminta maaf kepadanya. Tetapi dia hanya menganggukkan kepala dan tidak  berkata sedikitpun. Aku coba untuk memahami perasaanya, lalukuusap air mata yang membasahi pipinya. Kemudian kuajak perempuan itu duduk, aku mencoba untuk menenangkan perasaa sedihnya. Aku kerahkan segala usaha agar dia tida menangis kembali. Ternyata usahaku berhasil. Sekarang  perempuan itu mau diajak bicara. Tidak kulewatkan kesempatan untuk bicara kepada perempuan itu tentang keadaanku sekarang ini. Lalu kucoba melontarkan lagi pertanyaan yang sebelumnya ku tanyakan kepada perempuan itu.
            “ada apa? Dan apa yang terjadi sekarang ini?
            “aku takut. Aku takut jika kamu sampai dipanggil.”. jawab perempuan itu dengan nada rendah
            “aku? Dipanggil?” aku terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya hingga membuatku ketakutan.”mengapa?” tanyaku kembali dengan gugup.
            “entahlah, tapi yang jelas aku ditugaskan oleh seseorang untuk mengajakmu pergi jauh dari tempat ini. Tetapi aku tidak mau,karena kau selalu taat menjalankan ibadah.” Perempuan itu menjelaskan semuanya kepadaku.
            “tunggu dulu! Aku ingin Tanya lagi. Dimana aku sekarang?”
            “ kamu sekarang berada dialam bawah sadarmu dan akan segera kembali padaNya”
            “ itu berarti?”
            “iya!” perempuan itu langsung  memotong pembicaraanku
            “jasad dan rohmu sekarang tidak menyatuh”
            “tidak…!tidak mungkin. Ini tidak mungkin!”. Aku berteriak histeris dalam dunia sunyi sepi itu. Air mata sedikit demi sedikit kuteteskan. Namun, perempuan tersebut memberikanpilihan kepadaku. apakah aku akan ikut dengannya atau akan tetap disini sendirian?. Lalu aku menjawab pertanyaan perempuan itu.
            “jika memang sudah saanya, aku akan ikut denganmu”. Jawabku sambil mengusap air mata yang terus mengalir di pipi.
            “baiklah kalau begitu. Sekarang ayo ikut aku.”. aku dan perempuan itu  langsung meninggalkan tempat duduk  dan berbincang-bincang munuju ke suatu tempat. Tempat itu adalah tempat yang pertama kali kulihat. Semua kosong, hampa taik ada yang tahu.

***
Disisi lain, seluruh anggota keluargaku serta teman-teman sekolahku  menunggu kabar baik dari dokter akan kondisiku yang sedang kritis. Mereka telah menunggu selama hampir tiga jam, tetapi dokter belum juga memberikan kabar kepada mereka. Bobby, ayahku merasa gelisah akan keadaanku. Dia mondar-mandir seperti setrika. Melihat tingkah laku ayahku seperti itu, ibuku memerahi ayah.
“ayah! mengapa mondar-mandir seperti setrika itu sih? Sikap ayah ini tidak akan membuat putri kita jenny melewati masa kritisnya.”
“habis, mau bagaimana lagi. Ayah sudah pusing memikirkan keadaan putri kita yang sedang kritis ini.”. ayah meletakkan kedua tangannya di atas kepala, seolah semakin pusing akan keadaaku. Melihat keadaan ayahku yang pusing, salah satu teman sekolahku,Resi, memotong pembicaraan ayahku
“om,dari pada kita gelisah memikirkan kondisi Jenny dan tidak melakukan apa-apa, lebih baik kita semua berdoa agar jenny dapat melewati masa kritisnya. Selama hamper tiga jam ini, hanya doa dari kita semua yang dibutuhkan oleh Jenny, bukan menambah beban penderitaannya di dalam sana.”.
“iya om,tante. Memang doa yang dibutuhkan  oleh Jenny untuk melewati masa kritisnya.”. salah satu temanku yang lain menambahkan pendapat Resi.
“iya benar kata kalian. Jenny sekarang memang membutuhkan doa dari kita semua. Kalau begitu sekarang kita ke mushola. Kita berdoa, minta agar Jenny kuat menghadapi semua ini.
“iya yah. Ayo!”. Ibuku dengan semangat menerima ajakan dari teman-temanku. Mereka langsung bergegas menuju mushola yang berada di sudut luar Rumah Sakit Bunda. Mereka bergantian mengambil wudhu, kemudian lagsung melaksanakan ibadah sholat ashar  secara berjamaah. Alu mereka berdoa demi kesembuhanku.
Di ruang UGD, dokter telah melakukan banyak usaha untuk kesembuhanku. Keringat terus mengucur dari tubuh dan muka. Sekejap sebuah alat untuk mengetahui detak jantung seseorang menujukkan suatu keadaan bahwa aku dapat dinyatakan meninggal. Dokter lalu mengerahkan segala usaha untuk mempertahankan detak jantungku. Tetapi itu tidak berhasil dan jantungku benar-benar tidak berdetak.
Aku dan perempuan itu sudah berjalan sangat jauh dan akan segera tiba di tempat yang penuh cahaya itu. Perasaanku sangat sedih karena harus meninggalkan orang-orang yang sayang padaku. Air mataku mulai menetes kembali, tetapi perempuan itu tidak peduli sedikitpun kepadaku.
Sekitar tiga puluh langkah kemudian, kami berdua sampai ke tujuan. Kulihat ada sekelompok makhluk lainnya yang sedang menjalani siksaan dari yang maha kuasa. Sempat kuucapkan kalimat istigfar. Lalu perempuan tersebut menjelaskan sesuatu tentang apa yang kulihat.
“apa yang kamu lihat adalah makhluk Tuhan yang tidak pernah menjalankan perintah-perintahNya.”. aku hanya bias termangut dan pasrah akan apa yang akan Tuhan berikan kepadaku.
Beberapa saat kemudian, aku disuruh perempuan itu menghadap Malaikat. Dengan hati lapang, aku menerimanya. Aku langkahkan kakiku sedikit demi sedikit. Setelah langkahku kesepuluh, tiba-tiba terdengar dari kejauhan, seseorang memanggil namaku. Kuhentikan langkahku, ku tengok ke belakang kearah sumber suara yang kudengar. Tapi aku belum tahu betul siapa yang telah memanggilku.
“Jenny!” Suara panggilan itu terdengar kembali. Kulihat sekelompok orang melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Karena jarak antara Aku dan mereka sangat jauh, aku masih belum melihat betul dengan jelas siapa yang telah memanggilku. Kemudian semuanya berlari ke arahku. Betapa gembiranya Aku ketika kutahu bahwa mereka semua adalah ayah,ibu, dan teman-temanku.
“Jenny!Kembali!”
“O… hai!” aku melambaikan tanganku ke arah mereka
“Jenny, jangan pergi. Kami disini merindukan kamu. Tolong Jenny.”. kata  teman-temanku seraya berdiri di depanku.
“iya Jenny. Ayah dan ibu tidak mau kehilanganmu”. Ayahku menambahkan
“tapi ayah. Jika yang maha kuasa sudah menghendaki , aku tidak dapat berbuat apa-apa.”. aku menangis memeluk ayah. Ibu dan teman-teman lalu memelukku, melepaskan kesedihan yang mereka rasakan. Air mata yang membasahi lereng pipi kami membuat sorotan bagi makhluk lain. Dalam suasana haru tersebut, langitpun meneteskan air mata kepadaku mengharapkan kepulanganku ke dunia yang fana.
Melihat langit meneteskan air mata, perempuan itu mendekat dan berkata suatu hal kepadaku.
“Jenny, orang terekatmu sudh menjengukmu untuk kembali ke duniamu. Sekarang ikutlah bersama mereka, karena orang-orang terdekatmu masih menginginkan keberadaanmu.”. perempuan itu memegang pundakku.
“Sungguh?”. Aku terkejut mendengar kabar gembira tersebut. Tanpa pikir panjang lagi, kutinggalkan tempat yang sunyi itu bersama ayah,ibu dan teman-temanku. Aku kembali…Ya aku kembali. Aku ingin tetap bersama dengan orang-orang yang kusayangi.
Di ruang UGD, keringat yang terus mungucur di seluruh tubuh para dokter. Dokter terus berusaha agar jantungku dapat berdetak kembali. Dokter sempat patah semangat untuk menyelamatkanku. Ditinggalkannya jasadku seorang diri dalam ruang UGD tanpa ada yang menemani, hanya terdengar suara pendeteksi detak jantung yang terdengar.
Keluargaku dan teman-temanku yang sejak sejam sebelumnya menunggu di ruang tunggu UGD denga segera berdiri dan memasang wajah gembira ketika dokter keluar dari ruang UGD.
“bagaimana dok keadaan putrid saya?. Ayahku bertanya kepada dokter
“iya dok. Bagaimana keadaan putri saya sekarang?”. Tambah ibuku. Dokter terdiam sejenak tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya.
“dokter bagaimana kadaan putriku? Apakah dia baik-baik saja?”. Kembali ayahku bertanya. Kali ini dia hanya menggelengkan kepala dengan muka murung.
“jawab dok, jawab! Ada apa dengan putrid saya?”. Ayahku memegang kerah baju dokter itu dengan raut emosi.
“om, om. Sudah om. Biarkan dokter menyampaikan informasinya kepada kita. Emosi dan kekerasan tidak akan dapat menyelesaikan masalah.”. salah satu temanku memisahkan perselisiha antara ayahku dengan dokter agar tidak menimbulkan masalah baru.
“maaf ibu bapak. Sepertinya nyawa ananda Jenny tak dapat diselamatkan lagi. Kami telah berusaha sekuat tenaga kami untuk menyelamatkannya tetapi tidak berhasil. Kami minta maaf ya ibu, bapak.”. dokter menjelaskan  dengan nada halus
“apa dok?”. Ibuku terkejut mendengar kabar buruk yang melintas di telinganya. Lalu dengan segera ibuku mencoba menerobos pintu ruang UGD dengan cucuran air mata yang membasahi lereng pipi untuk melihat keadaanku. Akan tetapi, usaha ibuku selalu dihentikan oleh dokter. Dokter tidak bermaksud untuk menghalang-halangi ibuku, tetapi dokter tidak mau jika ai sampai melihat keadaanku yang tak lagi bernafas.
            “dok, minggir dok. Saya ingin melihat keadaan anak saya Jenny!”. Abuku menjerit  histeris diikuti  air mata yang terus mengalis di lereng pipinya. Ibuku terus berusaha mencoba untuk memasuki ruang UGD. Akhirnya ibuku mencapai tingkat emosionalnya. Dengan rasa tersebut, ibuku dengan paksa menerobos dokter tersebut bak ombak yang menerjang karang.
“Jenny… anakku…” abuku menangis sambil memeluk tubuhku yang terlihat pucat dan tak bernafas lagi.
“Jenny…” ayah dan temanku dengan cepatnya memasuki ruangan itu. Alhasil, semuanya menangis dan menjerit-jerit memanggilku yang terkulai lemas.
“Jenny!bangun nak. Bangun…” ibuku menjerit histeris mencoba untuk membangunkanku. Tetapi tubuhku tak ada respon seikitpun. Yang ada hanyalah kondisi tubuhku yang semakin pucat dan lemas tak berdaya.
“Jenny..!” ibuku terus mencoba utuk membangunkanku hingga ibuku merasa kelelahan  dan seketika ibuku jatuh pingsan. Ayah lalu membawa ibuku keluar dan mencari ruangan yang segar. Sedangkan teman-temanku menunggu jasadku yang semakin pucat.

***
Sekitar sepuluh menit sudah teman-temanku menemani jasadku. Mereka juga mencoba mengajakku untuk bicara selaras dengan tetesan air mata yang terus mengalis di lereng pipi.
“Jen… Jenny. Kami sudah disini Jen. Ayolah bangun.”.
“iya Jen.apakau tega melihat orang tuamu yang terus-menerus sedih karena dirimu?”.
“Jenny”.Resi memegang tangan kananku yang terkulai lemas. “Ayolah Jen… Bangun!”. Air mata Resi ikut membasahi dahiku dan genggaman tangannya semakin kuat terhadapku. Lalu ia lemaskan genggaman tangannya yang erat itu dari tanganku. Tetapi air mata yang mengalir  dari lereng pipinya terus membasahi dahiku.
Setelah habis air mata yang mengalir dari lereng pipi Resi. Tiba-tiba sebuah keajaiban muncul. Aku mulai mengalami kesadaran. Hidungku mulai mencari nafas atau oksigen walaupun hanya sedikit-sedikit. Mrlihat kondisiku seperti itu, temanku Resi langsung memanggil ayah dan ibuku di luar serta dokter untuk menyelamatkan kembali nyawaku. Dengan segera ruagan UGD itu dipadati oleh orang-orang yang menyayangiku.
“sebaiknyaibu,bapak dan saudara-saudara sekalian keluar dahulu. Kami akan menangani Jenny”
“tapi dok?”Ibuku membantah suruhan dari dokter itu
“sudah bu, sudah. Biarkan dokter yang menangani masalah ini.”
“iya tante. Sebaiknya kita keluar. Biarkan dokter menjalankan tugasnya. Kita harus berdoa demi keselamatan Jenny.”. Resi menambahkan
“ayo bu.”. ajak ayahku
“baiklah!.” Mereka akhirnya meninggalkan ruang UGD itu dan kembali menunggu hasil dari dokter.
Setelah beberapa menit, dokter keluar dari ruang UGD itu dengan penuh senyuman.
“bagaimana dok keadaan anakku?”. Tanya ayahku
“Iya dok. Bagaiman keadaanya?”. Tambah ibuku
“Subhanallah. Ini suatu mukjizat dari yang maha kuasa. Akhirnya Jenny bias melewati masa kritisnya
“Alhamdulillah” seluruhnya berbahagia mendengar khabar tersebut.
Akhirnya mataku dapat terbuka kembali setelah melewati masa kritis yang begitu menakutkan, dan aku dapat mengirup kembali segarnya udara bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar